Fenomena booming batu akik
populer saat ini, banyak orang yang mendadak akik maniac jadi kolektor, hampir
seluruh pelosok Indonesia terjadi pedagang akik dadakan mengadu keberuntungan,
jasa Gospol (gosok poles) tumbuh subur dimana-mana. Bahkan transaksi import
batu permata via ebay ikut ramai menyemarak dibarengi peningkatan jasa
pengiriman barang seputar akik dan barang ikutannya mulai emban/ ikat, alat
poles dll. Tahukah Anda bagaimana sebuah komoditas menjadi trend belanja dengan harga luar biasa dan setelah Akik, louhan dan daun anthorium selanjutnya apalagi?
Ada kemiripan booming batu akik,
ikan Laouhan dan tanaman Gelombang Cinta (daun andthorium) yang pada akhirnya kelarisan
berlalu seiring berjalannya waktu ujungnya tidak laku. Untuk batu akik
tampaknya masih bisa sedikit bertahan sebab kesukaan orang kepada batu akik
masih rasional sebab sebelum booming banyak juga penggemarnya, batu permata
juga masih tetap laku di pasar perhiasan.
Kita mungkin yakin kelak fenomena
booming batu akik akan berakhir seperti halnya ikan Louhan dan Gelombang Cinta
yang sudah dilupakan. Terus kira kira booming apalagi yang terjadi sehingga
orang bisa lebih awal jadi kolektor dengan keuntungan spektakuler dan menikmati
prestis istimewa?
Bisa jadi Anda telah
berandai-andai menjadi pioneer yang pertama mempopulerkan sebuah komoditas yang
meledak selanjutnya keuntungan dan ketenaran Anda peroleh dalam waktu singkat.
Untuk memprediksi komoditas yang
kelak jadi fenomena booming bisnis perlu menyusun rumusan faktor mendukung
terjadinya barang laris dadakan dari pada kita main tebak-tebakan dengan resiko
besar.
Analisis
Booming Anthorium
Masyarakat Indonesia senang dengan segala hal yang
irasional. Tanaman hias anthurium dan ikan louhan, telah dianggap sebagai
komoditas yang mengalami “booming”. Artinya, tanaman hias dan ikan ini dianggap
trendi, dicari-cari pembeli, dan harganya melambung tinggi. Setelah booming itu
selesai, orang menunggu-nunggu, sambil terus bersiap-siap, tanaman apa lagi
yang sebentar lagi akan booming. Padahal, sekarang ini dunia sedang bergelut
dengan kekhawatiran akan menggilanya harga bahan pangan. Hingga yang akan
mengalami booming justru komoditas pangan. Bukan tanaman hias.
Apakah benar selama tahun 2007, telah terjadi booming
tanaman hias anthurium daun? Sebenarnya yang terjadi bukan booming, melainkan
perilaku rakus dan ingin cepat kaya. Tidak pernah ada perorangan atau lembaga,
yang memerlukan tanaman hias anthurium daun, dalam jumlah massal, dengan harga
mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah per tanaman. Tetapi informasi
bahwa harga anthurium mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, terus
berhembus kemana-mana. Semua percaya. Semua lalu membeli anthurium, dengan
harapan nanti bisa menjualnya lagi dengan harga lebih tinggi.
Booming itu ternyata hanya sebentar. Mereka yang
rakus, dan menimbun anthurium daun secara massal, menjadi gigit jari. Tak ada
lagi yang mau membeli komoditas ini. Sementara tanaman itu memerlukan tempat,
memerlukan perawatan, dan si penimbun hanya bisa berharap, harga akan naik
lagi. Padahal booming itu hanya akan terjadi sesaat, dan sekali. Pemilik
anthurium terlanjur investasi sampai milyaran rupiah, sekarang hanya berharap
akan koleksinya cepat laku, berapa pun harganya. Termasuk yang sudah terlanjur
investasi, adalah Kab. Karanganyar di Jawa Tengah. Bupatinya bahkan telah
mengklaim, bahwa Karanganyar adalah kabupaten anthurium.
Kebodohan
Massal
Tanaman anthurium adalah salah satu dari sekian
banyak, bentuk kebodohan nasional. Sebelumnya tanaman jarak pagar, dihebohkan
sebagai komoditas yang juga akan mengalami booming. Ada pula mahkota dewa, ada
lobster air tawar, pernah pula cacing, jangkrik, ikan louhan dan lain-lain.
Siapakah yang memerlukan ikan louhan dalam jumlah banyak, dan dengan harga
ratusan juta per ekor? Lalu untuk apa? Cacing yang dijual dengan harga
Rp250.000 per kg, diisukan sebagai bahan kosmetika bernilai tinggi. Masyarakat
kita tidak pernah bersikap kritis. Hingga mereka mudah sekali tertipu. termasuk
tertipu oleh iming-iming investasi agro “bagi hasil”.
Pengertian bagi hasil adalah, hasilnya bisa untung,
bisa rugi, bisa impas. di sini penyelenggara investasi bagi hasil, menjanjikan
keuntungan 65% per tahun, dan akan membayar tunai. Apakah di dunia ini ada
komoditas yang anti rugi dan pasti untung tinggi? Dan ternyata benar, bahwa itu
semua hanya tipuan. Dalam dunia bisnis, semakin tinggi keuntungan, semakin
tinggi pula resikonya. Tidak pernah ada komoditas yang selalu untung, tanpa
pernah rugi. Dalam dunia investasi bagi hasil, yang dibagi adalah keuntungan
dan kerugian. Sistem syariah, dan juga modal ventura, akan membagi keuntungan
maupun resiko.
Booming
Komoditas Realistis
Dalam kenyataan, sebenarnya memang seringkali terjadi
booming komoditas, yang bukan tipuan. Cengkeh, lada, cabai, bawang merah,
kelapa, kelapa sawit, vanili, bunga potong, seringkali dianggap mengalami
booming. Artinya, komoditas itu bernilai sangat tinggi dan dicari-cari pembeli.
Tapi benarkah itu semua booming? Tidak semua. Cabai rawit merah yang harga per
kilonya mencapai Rp35.000 sebenarnya bukan sedang booming, melainkan langka.
Karena pasokan dan permintaan lebih tinggi permintaan, maka harga melambung.
Nanti kalau pasokan sudah normal, maka harga juga akan kembali normal.
Sejak tahun 1990, Crude Palm Oil (CPO), atau minyak
sawit mentah, memang benar telah mengalami booming. Permintaan CPO terus
tinggi, pasokan juga tinggi, tetapi harga terus naik. Kondisi ini makin dipacu,
oleh faktor kenaikan BBM belakangan ini. Inilah yang disebut booming. Sebab
yang akan memanfaatkan CPO jelas ada. Tujuannya juga jelas. Pasarnya konkrit.
Tidak ada yang disembunyikan. Harga CPO sebenarnya juga masih wajar, bukan
gila-gilaan seperti halnya anthurium. Pada prinsipnya, orang baru akan
menikmati booming komoditas, setelah terlebih dahulu bekerja keras. Tidak ada
unsur spekulatif dalam agribisnis CPO.
Beberapa tahun lalu, vanili pernah mengalami booming.
Harga vanili kering sampai Rp3.500.000 per kilo. Sebab ketika itu pasokan
sangat rendah, sementara permintaan terus tinggi. Benih vanili juga ikut
terdongkrak harganya. Sekarang harga vanili sudah kembali normal. Minat
masyarakat untuk membudidayakan vanili kembali mengendor. Mental masyarakat,
tampaknya sudah terjangkiti oleh mental pejabat korup kita. Kalau bisa, tidak
usah kerja berat, tetapi bisa mendapat keuntungan besar dalam jangka waktu
pendek. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara korupsi oleh pejabat kita. Petani
pun juga ikut mencoba mengkorupsi komoditas sendiri.
Karenanya, mereka kemudian menciptakan isu, bahwa
louhan dan anthurium dagangan itu hebat serta dicari-cari orang, hingga
harganya melambung sampai ratusan juta rupiah. Massa selalu mudah diajak ikut
arus. Mereka juga tidak pernah kritis dan bertanya, untuk apa louhan dan anthurium
dibeli dengan harga ratusan juta? Siapa yang membutuhkannya? Berapa banyak
mereka perlu? CPO jelas untuk minyak goreng, margarin, sabun, dan bahan baku
industri lainnya. Pembelinya jelas, standar mutunya ada, volume kebutuhannya
juga konkrit. Tetapi untuk itu semua harus kerja keras.
Orang tertarik membeli bongkahan batu akik bacan
setelah dirajang digosok kemudian naik ring harga bisa mencapai puluhan juta
rupiah.
Momentum Trend Komoditas
Demam batu akik melanda seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia
awal pemicunya adalah cendera mata batu bacan dari Susilo Bambang Yudhoyono
kepada Presiden AS Barack Obama. Setelah pertemuan itu,
harga akik langsung melambung. Dalam suatu kontes batu akik harga tertinggi dicapai batu bacan dengan
nilai sampai 3 milyard.
Dengan cepat berita peristiwa tersebut diekpos media masa dan media sosial selanjutnya
sentra penjualan bertebaran di mana-mana, dari pusat belanja mewah hingga lapak
pinggir jalan. Penggemar akik datang dari pelbagai kalangan, dari remaja, orang
tua, pejabat, hingga kolektor mancanegara.
Batu yang dulunya dikenal dekat dengan dunia mistis ini kini telah menjadi
barang seni, simbol status dan materi investasi. Batu bacan banyak ditemukan di
Desa Doko dan Palamea di , Halmahera, Maluku Utara ini menjadikan masyarakat
semakin bergairah menambang lantaran pendapatan dari penambangan batu bacan
lebih besar ketimbang penambangan emas. Setiap dua minggu sekali, ada pembeli
yang datang langsung ke Palamea. Satu bongkahan seberat 1 kilogram dengan warna
hijau bening dihargai Rp 100 juta, seperti layaknya harga batu zamrud.
Anda masih ingat fenomena booming Anthurium daun yang
memiliki daun yang tebal, lebar, urat daunnya kekar, sehingga tanaman ini
terlihat gagah dan anggun. Konon, pada zaman dahulu tanaman ini banyak dijumpai
sebagai hiasan di istana, sehingga sering disebut sebagai tanaman raja.
Anthurium sempat ‘tenggelam’ ketika penggemar
tanaman hias sedang menyukai adenium. Para pedagang anthurium kemudian
bersama-sama mengadakan pameran, dan mendongkrak anthurium dengan harga
‘bom-boman’ sehingga anthurium kembali melejit. Dalam waktu singkat, harga
anthurium (khususnya Jenmanii) naik tak terkendali, dari puluhan ribu rupiah
per batang hingga menjadi puluhan juta rupiah.
Yang paling konyol fenomena ikan louhan, banding
ikan sejenis mujahir harganya bisa ratusan juta rupiah padahal mujahir kembaranya
sendiri harganya Cuma lima ratus rupiah.
Siapakah gerangan pembeli louhan, gelombang cinta
dan batu bacan mahal, apakah mereka sebegitu kayanya, sehingga rela melepaskan
puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk barang yang begitu sederhana? Benarkah
mereka sungguh-sungguh menyukai barang-barang itu, atau membeli hanya sekedar
untuk gengsi?
Perdagangan batu akik, anthurium dan ikan louhan seperti
perdagangan saham, dimana orang membeli saham bukan untuk menikmati dividennya,
tetapi untuk dijual kembali, untuk mendapatkan capital gain.
Akhirnya harga itu menjadi harga semu. Pedagang ‘menggoreng’ harga, seperti
yang terjadi pada harga lukisan di pelelangan-pelelangan. Di akhir penghujung
harga dagangan ini akan mencapai suatu titik klimaks, untuk selanjutnya jatuh
ketika tren beralih ke jenis komoditas lain. Cukup banyak orang yang kaya
mendadak karena karena dagangan booming, tapi cukup lebih banyak juga yang rugi
karena ikut-ikutan di belakangan.
Terbentuknya
Booming Komoditas.
Dunia
bisnis tidak lepas dari yang namanya modal. Jadi untuk membuat sebuah komoditas
menjadi menarik, perlu modal dan strategi bisnis. Untuk bisa menjual sebuah
komoditas kita perlu yang namanya pasar. Jika komoditasnya ada tetapi tidak ada
pasarnya sama juga bohong. Nggak laku. Begitu pula jika pasarnya ada tapi
produknya tidak dikenal. Jadi tahap awal adalah
membentuk image sebuah produk lalu kemudian membuat pasarnya. Saya ambil contoh
waktu booming ikan Louhan dan batu bacan.
Mempelajari Pasar
Ketika itu di Malaysia berhasil mengembang biakkan jenis iklan siklid yang
berwarna indah dan berbentuk menarik. Kemudian peluang ini dimanfaatkan oleh
pebisnis. Bagaimana caranya menjual ikan ini dengan harga yang mahal dan
menguntungkan. Untuk pasar ikan hias komoditas yang paling mahal ditempati oleh Ikan Koi dan Arwana.
Kedua ikan ini sudah terkenal dan memiliki pasar sendiri.
Sementara pasaran tertinggi lainnya dipegang oleh ikan langka, semisal
Botia. Ikan Botia ini saat itu masih sulit dikembang biakkan. Menurut seorang
eksportir ikan di Cibinong, Bogor, mereka masih menangkapnya dari alam. Sekarang
jenis ini sudah banyak ditangkar oleh peternak. Berarti pasar iklan Louhan
(siklid) masih terbatas dan harganya murah tetapi mudah dibudidayakan, tinggal
membangun image bahwa ikan ini bisa berharga spektakulr.
Menciptakan Image
Setelah mempelajari pasar, maka harus dibuat pasar sendiri untuk ikan
Louhan. Tetapi sebelumnya harus diperkenalkan dahulu produk yang akan dijual.
Karena ikan Louhan adalah hasil ternakan dan sangat mudah dikembang biakan,
maka perlu strategi sendiri untuk membentuk image.
Pertama kali yang dilakukan adalah dengan menggunakan media massa.
Pebisnis, saya menyebut demikian buat investor, akan mengundang media untuk
meliput dan memberitakan tentang ikan jenis baru. Media yang saat itu menjadi
barometer hobiis adalah majalah Trubus. Dalam setiap edisinya, majalah ini akan
memberitakan indahnya ikan louhan. Kemudian pebisnis akan menambahkan
bumbu-bumbu lain. Misalnya seorang pakar yang mengatakan bahwa ikan ini membawa
keuntungan (hoki), keberkahan, keselamatan, dan lain sebagainya. Jidatnya yang
jenong di gambarkan seolah ikan ini mirip dewa tertentu yang membawa kebaikan.
Pesan yang ingin disampaikan adalah, "Peliharalah Louhan, ikan jelmaan
dewa pembawa kemakmuran, kekayaan, dan kebaikan".
Membuat Pasar
Strategi untuk membuat pasar, selain memanfaatkan media massa, juga dengan
mengadakan pameran dan kontes. Caranya mudah. Ketika ikan Louhan berhasil
dikembang biakkan, pebisnis akan membeli dalam jumlah besar. Kemudian
membaginya ke beberapa 'teman'. Membuat komunitas kecil hobiis. Kontes dan
pameran dibuat dengan bantuan publikasi media. Di sanalah 'permainan' yang sesungguhnya
di mulai. Pebisnis sekaligus akan membentuk harga. Caranya dengan membeli ikan
dengan harga yang spektakuler. Misalnya, pebisnis memberi saya uang 200 juta
dan meminta saya untuk membeli ikan pemenang kontes dengan harga 200 juta.
Ketika ini terjadi, media akan membantu mempublikasikan dengan gegap gempita,
selanjutnya terjadilah booming harga spektakuler.
No comments:
Post a Comment