Saturday, August 1, 2015

Setelah Booming Batu Akik, Anthorium dan Louhan, Selanjutnya?


Fenomena booming batu akik populer saat ini, banyak orang yang mendadak akik maniac jadi kolektor, hampir seluruh pelosok Indonesia terjadi pedagang akik dadakan mengadu keberuntungan, jasa Gospol (gosok poles) tumbuh subur dimana-mana. Bahkan transaksi import batu permata via ebay ikut ramai menyemarak dibarengi peningkatan jasa pengiriman barang seputar akik dan barang ikutannya mulai emban/ ikat, alat poles dll. Tahukah Anda bagaimana sebuah komoditas menjadi trend belanja dengan harga luar biasa dan setelah Akik, louhan dan daun anthorium selanjutnya apalagi? 


Ada kemiripan booming batu akik, ikan Laouhan dan tanaman Gelombang Cinta (daun andthorium) yang pada akhirnya kelarisan berlalu seiring berjalannya waktu ujungnya tidak laku. Untuk batu akik tampaknya masih bisa sedikit bertahan sebab kesukaan orang kepada batu akik masih rasional sebab sebelum booming banyak juga penggemarnya, batu permata juga masih tetap laku di pasar perhiasan.

Kita mungkin yakin kelak fenomena booming batu akik akan berakhir seperti halnya ikan Louhan dan Gelombang Cinta yang sudah dilupakan. Terus kira kira booming apalagi yang terjadi sehingga orang bisa lebih awal jadi kolektor dengan keuntungan spektakuler dan menikmati prestis istimewa?

Bisa jadi Anda telah berandai-andai menjadi pioneer yang pertama mempopulerkan sebuah komoditas yang meledak selanjutnya keuntungan dan ketenaran Anda peroleh dalam waktu singkat.
Untuk memprediksi komoditas yang kelak jadi fenomena booming bisnis perlu menyusun rumusan faktor mendukung terjadinya barang laris dadakan dari pada kita main tebak-tebakan dengan resiko besar.

Analisis Booming Anthorium
Masyarakat Indonesia senang dengan segala hal yang irasional. Tanaman hias anthurium dan ikan louhan, telah dianggap sebagai komoditas yang mengalami “booming”. Artinya, tanaman hias dan ikan ini dianggap trendi, dicari-cari pembeli, dan harganya melambung tinggi. Setelah booming itu selesai, orang menunggu-nunggu, sambil terus bersiap-siap, tanaman apa lagi yang sebentar lagi akan booming. Padahal, sekarang ini dunia sedang bergelut dengan kekhawatiran akan menggilanya harga bahan pangan. Hingga yang akan mengalami booming justru komoditas pangan. Bukan tanaman hias.
Apakah benar selama tahun 2007, telah terjadi booming tanaman hias anthurium daun? Sebenarnya yang terjadi bukan booming, melainkan perilaku rakus dan ingin cepat kaya. Tidak pernah ada perorangan atau lembaga, yang memerlukan tanaman hias anthurium daun, dalam jumlah massal, dengan harga mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah per tanaman. Tetapi informasi bahwa harga anthurium mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, terus berhembus kemana-mana. Semua percaya. Semua lalu membeli anthurium, dengan harapan nanti bisa menjualnya lagi dengan harga lebih tinggi.

Booming itu ternyata hanya sebentar. Mereka yang rakus, dan menimbun anthurium daun secara massal, menjadi gigit jari. Tak ada lagi yang mau membeli komoditas ini. Sementara tanaman itu memerlukan tempat, memerlukan perawatan, dan si penimbun hanya bisa berharap, harga akan naik lagi. Padahal booming itu hanya akan terjadi sesaat, dan sekali. Pemilik anthurium terlanjur investasi sampai milyaran rupiah, sekarang hanya berharap akan koleksinya cepat laku, berapa pun harganya. Termasuk yang sudah terlanjur investasi, adalah Kab. Karanganyar di Jawa Tengah. Bupatinya bahkan telah mengklaim, bahwa Karanganyar adalah kabupaten anthurium.

Kebodohan Massal
Tanaman anthurium adalah salah satu dari sekian banyak, bentuk kebodohan nasional. Sebelumnya tanaman jarak pagar, dihebohkan sebagai komoditas yang juga akan mengalami booming. Ada pula mahkota dewa, ada lobster air tawar, pernah pula cacing, jangkrik, ikan louhan dan lain-lain. Siapakah yang memerlukan ikan louhan dalam jumlah banyak, dan dengan harga ratusan juta per ekor? Lalu untuk apa? Cacing yang dijual dengan harga Rp250.000 per kg, diisukan sebagai bahan kosmetika bernilai tinggi. Masyarakat kita tidak pernah bersikap kritis. Hingga mereka mudah sekali tertipu. termasuk tertipu oleh iming-iming investasi agro “bagi hasil”.

Pengertian bagi hasil adalah, hasilnya bisa untung, bisa rugi, bisa impas. di sini penyelenggara investasi bagi hasil, menjanjikan keuntungan 65% per tahun, dan akan membayar tunai. Apakah di dunia ini ada komoditas yang anti rugi dan pasti untung tinggi? Dan ternyata benar, bahwa itu semua hanya tipuan. Dalam dunia bisnis, semakin tinggi keuntungan, semakin tinggi pula resikonya. Tidak pernah ada komoditas yang selalu untung, tanpa pernah rugi. Dalam dunia investasi bagi hasil, yang dibagi adalah keuntungan dan kerugian. Sistem syariah, dan juga modal ventura, akan membagi keuntungan maupun resiko.

Booming Komoditas Realistis
Dalam kenyataan, sebenarnya memang seringkali terjadi booming komoditas, yang bukan tipuan. Cengkeh, lada, cabai, bawang merah, kelapa, kelapa sawit, vanili, bunga potong, seringkali dianggap mengalami booming. Artinya, komoditas itu bernilai sangat tinggi dan dicari-cari pembeli. Tapi benarkah itu semua booming? Tidak semua. Cabai rawit merah yang harga per kilonya mencapai Rp35.000 sebenarnya bukan sedang booming, melainkan langka. Karena pasokan dan permintaan lebih tinggi permintaan, maka harga melambung. Nanti kalau pasokan sudah normal, maka harga juga akan kembali normal.

Sejak tahun 1990, Crude Palm Oil (CPO), atau minyak sawit mentah, memang benar telah mengalami booming. Permintaan CPO terus tinggi, pasokan juga tinggi, tetapi harga terus naik. Kondisi ini makin dipacu, oleh faktor kenaikan BBM belakangan ini. Inilah yang disebut booming. Sebab yang akan memanfaatkan CPO jelas ada. Tujuannya juga jelas. Pasarnya konkrit. Tidak ada yang disembunyikan. Harga CPO sebenarnya juga masih wajar, bukan gila-gilaan seperti halnya anthurium. Pada prinsipnya, orang baru akan menikmati booming komoditas, setelah terlebih dahulu bekerja keras. Tidak ada unsur spekulatif dalam agribisnis CPO.

Beberapa tahun lalu, vanili pernah mengalami booming. Harga vanili kering sampai Rp3.500.000 per kilo. Sebab ketika itu pasokan sangat rendah, sementara permintaan terus tinggi. Benih vanili juga ikut terdongkrak harganya. Sekarang harga vanili sudah kembali normal. Minat masyarakat untuk membudidayakan vanili kembali mengendor. Mental masyarakat, tampaknya sudah terjangkiti oleh mental pejabat korup kita. Kalau bisa, tidak usah kerja berat, tetapi bisa mendapat keuntungan besar dalam jangka waktu pendek. Ini hanya bisa dilakukan dengan cara korupsi oleh pejabat kita. Petani pun juga ikut mencoba mengkorupsi komoditas sendiri.

Karenanya, mereka kemudian menciptakan isu, bahwa louhan dan anthurium dagangan itu hebat serta dicari-cari orang, hingga harganya melambung sampai ratusan juta rupiah. Massa selalu mudah diajak ikut arus. Mereka juga tidak pernah kritis dan bertanya, untuk apa louhan dan anthurium dibeli dengan harga ratusan juta? Siapa yang membutuhkannya? Berapa banyak mereka perlu? CPO jelas untuk minyak goreng, margarin, sabun, dan bahan baku industri lainnya. Pembelinya jelas, standar mutunya ada, volume kebutuhannya juga konkrit. Tetapi untuk itu semua harus kerja keras.
Orang tertarik membeli bongkahan batu akik bacan setelah dirajang digosok kemudian naik ring harga bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Momentum Trend  Komoditas
Demam batu akik melanda seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia awal pemicunya adalah cendera mata batu bacan dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden AS Barack Obama. Setelah pertemuan itu, harga akik langsung melambung. Dalam suatu kontes batu akik harga tertinggi dicapai batu bacan dengan nilai sampai 3 milyard.

Dengan cepat berita peristiwa tersebut diekpos media masa dan media sosial selanjutnya sentra penjualan bertebaran di mana-mana, dari pusat belanja mewah hingga lapak pinggir jalan. Penggemar akik datang dari pelbagai kalangan, dari remaja, orang tua, pejabat, hingga kolektor mancanegara.

Batu yang dulunya dikenal dekat dengan dunia mistis ini kini telah menjadi barang seni, simbol status dan materi investasi. Batu bacan banyak ditemukan di Desa Doko dan Palamea di , Halmahera, Maluku Utara ini menjadikan masyarakat semakin bergairah menambang lantaran pendapatan dari penambangan batu bacan lebih besar ketimbang penambangan emas. Setiap dua minggu sekali, ada pembeli yang datang langsung ke Palamea. Satu bongkahan seberat 1 kilogram dengan warna hijau bening dihargai Rp 100 juta, seperti layaknya harga batu zamrud.

Anda masih ingat fenomena booming Anthurium daun yang memiliki daun yang tebal, lebar, urat daunnya kekar, sehingga tanaman ini terlihat gagah dan anggun. Konon, pada zaman dahulu tanaman ini banyak dijumpai sebagai hiasan di istana, sehingga sering disebut sebagai tanaman raja.

Anthurium sempat ‘tenggelam’ ketika penggemar tanaman hias sedang menyukai adenium. Para pedagang anthurium kemudian bersama-sama mengadakan pameran, dan mendongkrak anthurium dengan harga ‘bom-boman’ sehingga anthurium kembali melejit. Dalam waktu singkat, harga anthurium (khususnya Jenmanii) naik tak terkendali, dari puluhan ribu rupiah per batang hingga menjadi puluhan juta rupiah.

Yang paling konyol fenomena ikan louhan, banding ikan sejenis mujahir harganya bisa ratusan juta rupiah padahal mujahir kembaranya sendiri harganya Cuma lima ratus rupiah.

Siapakah gerangan pembeli louhan, gelombang cinta dan batu bacan mahal, apakah mereka sebegitu kayanya, sehingga rela melepaskan puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk barang yang begitu sederhana? Benarkah mereka sungguh-sungguh menyukai barang-barang itu, atau membeli hanya sekedar untuk gengsi?

Perdagangan batu akik, anthurium dan ikan louhan seperti perdagangan saham, dimana orang membeli saham bukan untuk menikmati dividennya, tetapi untuk dijual kembali, untuk mendapatkan capital gain. Akhirnya harga itu menjadi harga semu. Pedagang ‘menggoreng’ harga, seperti yang terjadi pada harga lukisan di pelelangan-pelelangan. Di akhir penghujung harga dagangan ini akan mencapai suatu titik klimaks, untuk selanjutnya jatuh ketika tren beralih ke jenis komoditas lain. Cukup banyak orang yang kaya mendadak karena karena dagangan booming, tapi cukup lebih banyak juga yang rugi karena ikut-ikutan di belakangan.

Terbentuknya Booming Komoditas.
Dunia bisnis tidak lepas dari yang namanya modal. Jadi untuk membuat sebuah komoditas menjadi menarik, perlu modal dan strategi bisnis. Untuk bisa menjual sebuah komoditas kita perlu yang namanya pasar. Jika komoditasnya ada tetapi tidak ada pasarnya sama juga bohong. Nggak laku. Begitu pula jika pasarnya ada tapi produknya tidak dikenal. Jadi tahap awal adalah membentuk image sebuah produk lalu kemudian membuat pasarnya. Saya ambil contoh waktu booming ikan Louhan dan batu bacan.

Mempelajari Pasar
Ketika itu di Malaysia berhasil mengembang biakkan jenis iklan siklid yang berwarna indah dan berbentuk menarik. Kemudian peluang ini dimanfaatkan oleh pebisnis. Bagaimana caranya menjual ikan ini dengan harga yang mahal dan menguntungkan. Untuk pasar ikan hias komoditas yang paling mahal ditempati oleh Ikan Koi dan Arwana. Kedua ikan ini sudah terkenal dan memiliki pasar sendiri.

Sementara pasaran tertinggi lainnya dipegang oleh ikan langka, semisal Botia. Ikan Botia ini saat itu masih sulit dikembang biakkan. Menurut seorang eksportir ikan di Cibinong, Bogor, mereka masih menangkapnya dari alam. Sekarang jenis ini sudah banyak ditangkar oleh peternak. Berarti pasar iklan Louhan (siklid) masih terbatas dan harganya murah tetapi mudah dibudidayakan, tinggal membangun image bahwa ikan ini bisa berharga spektakulr.

Menciptakan Image
Setelah mempelajari pasar, maka harus dibuat pasar sendiri untuk ikan Louhan. Tetapi sebelumnya harus diperkenalkan dahulu produk yang akan dijual. Karena ikan Louhan adalah hasil ternakan dan sangat mudah dikembang biakan, maka perlu strategi sendiri untuk membentuk image.
Pertama kali yang dilakukan adalah dengan menggunakan media massa. Pebisnis, saya menyebut demikian buat investor, akan mengundang media untuk meliput dan memberitakan tentang ikan jenis baru. Media yang saat itu menjadi barometer hobiis adalah majalah Trubus. Dalam setiap edisinya, majalah ini akan memberitakan indahnya ikan louhan. Kemudian pebisnis akan menambahkan bumbu-bumbu lain. Misalnya seorang pakar yang mengatakan bahwa ikan ini membawa keuntungan (hoki), keberkahan, keselamatan, dan lain sebagainya. Jidatnya yang jenong di gambarkan seolah ikan ini mirip dewa tertentu yang membawa kebaikan. Pesan yang ingin disampaikan adalah, "Peliharalah Louhan, ikan jelmaan dewa pembawa kemakmuran, kekayaan, dan kebaikan".

Membuat Pasar

Strategi untuk membuat pasar, selain memanfaatkan media massa, juga dengan mengadakan pameran dan kontes. Caranya mudah. Ketika ikan Louhan berhasil dikembang biakkan, pebisnis akan membeli dalam jumlah besar. Kemudian membaginya ke beberapa 'teman'. Membuat komunitas kecil hobiis. Kontes dan pameran dibuat dengan bantuan publikasi media. Di sanalah 'permainan' yang sesungguhnya di mulai. Pebisnis sekaligus akan membentuk harga. Caranya dengan membeli ikan dengan harga yang spektakuler. Misalnya, pebisnis memberi saya uang 200 juta dan meminta saya untuk membeli ikan pemenang kontes dengan harga 200 juta. Ketika ini terjadi, media akan membantu mempublikasikan dengan gegap gempita, selanjutnya terjadilah booming harga spektakuler.


No comments:

Post a Comment