Ada sebuah canda yang bisa bikin cukup kita tersenyum kecil, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ini memang benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke
mana-mana. Bila seorang buruh terima gaji sebulan setidaknya yang diterima dalam jumlah jutaan rupiah. Dalam setiap menulis jumlah duit, orang Indonesia harus menulis sederetan angka nol setidaknya 4 digit. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk
orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak
berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.
Kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1
dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa
dilakukan? Jawabannya lakukan redenominasi.
Sebenarnya, redenominasi rupiah—yaitu penyederhanaan satuan rupiah
dengan cara menghilangkan tiga angka nol—bukanlah kebijakan yang
berurgensi tinggi.
Dalam kondisi sekarang, ketika rupiah
”terbebani” banyak angka nol pun, perekonomian Indonesia masih tumbuh
6,3 persen, inflasi 4,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit
bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dollar AS.
Memang masih ada berbagai masalah, misalnya fiskal (APBN) yang
terbebani subsidi energi Rp 306 triliun, defisit neraca perdagangan 1,5
miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS.
Namun, secara keseluruhan, perekonomian Indonesia terhitung ”baik-baik
saja”. Karena itu, redenominasi tidak mendesak.
Model-model Redenominasi
Namun, jika harus memilih, apakah rupiah dibiarkan seperti sekarang
atau diredenominasi, saya memilih rupiah yang lebih sedikit mengandung
angka nol. Lebih mudah menuliskannya, hemat pencatatan secara
akuntansi, serta lebih gampang mengonversikan
nya ke dalam mata uang asing. Berdasarkan pengalaman, ketika berbincang dengan orang asing, saya sering kesulitan mengonversikan bilangan bertriliun-triliun rupiah menjadi satuan dollar AS, euro, atau yen.
Meski dalam nada canda, saya cukup risih apabila ada kawan asing mengatakan, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ia benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke mana-mana. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.
Dengan pengalaman pergaulan internasional seperti itu, kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1 dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa dilakukan?
Ada dua cara. Pertama, kita terus memperbaiki kinerja perekonomian, antara lain memperbesar surplus perdagangan, surplus transaksi berjalan, dan menarik banyak modal asing sehingga berujung penguatan cadangan devisa. Bila ini dilakukan berkelanjutan, rupiah pun akan menguat melalui mekanisme pasar.
Masalahnya, berapa lama itu bisa kita lakukan? Apakah menunggu sampai cadangan devisa menembus 1 triliun dollar AS, atau bahkan seperti China yang kini cadangan devisanya hampir 3,3 triliun AS? Pasti makan waktu amat panjang.
Cara kedua, redenominasi, yakni ”memaksa” penghapusan beberapa nol (sesuai kebutuhan dan kelayakan) sehingga kurs rupiah lebih ramping. Melakukan ini tentu tak bisa sembarangan. Namun, jelas jauh lebih ringan daripada harus memupuk cadangan devisa hingga 1 triliun dollar AS.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.
Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah (4,3 persen). Menurut saya, kedua kondisi ini tak bertolak belakang.
Bagi negara yang inflasinya tinggi, masalah yang dihadapi adalah lemahnya mata uang, misalnya Turki mengalami 1 dollar AS ekuivalen 1,6 juta lira (1994), sedangkan bagi Indonesia, meski inflasi rendah, kurs rupiah lemah dengan beban angka nol banyak. Di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang lebih lemah daripada rupiah, yakni 1 dollar AS ekuivalen 20.000 dong.
Jadi, negara yang inflasinya besar ataupun kecil bisa saja melakukan redenominasi, sejauh punya kepentingan sama: ingin menyederhanakan tampilan angka nol pada mata uangnya.
nya ke dalam mata uang asing. Berdasarkan pengalaman, ketika berbincang dengan orang asing, saya sering kesulitan mengonversikan bilangan bertriliun-triliun rupiah menjadi satuan dollar AS, euro, atau yen.
Meski dalam nada canda, saya cukup risih apabila ada kawan asing mengatakan, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ia benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke mana-mana. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.
Dengan pengalaman pergaulan internasional seperti itu, kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1 dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa dilakukan?
Ada dua cara. Pertama, kita terus memperbaiki kinerja perekonomian, antara lain memperbesar surplus perdagangan, surplus transaksi berjalan, dan menarik banyak modal asing sehingga berujung penguatan cadangan devisa. Bila ini dilakukan berkelanjutan, rupiah pun akan menguat melalui mekanisme pasar.
Masalahnya, berapa lama itu bisa kita lakukan? Apakah menunggu sampai cadangan devisa menembus 1 triliun dollar AS, atau bahkan seperti China yang kini cadangan devisanya hampir 3,3 triliun AS? Pasti makan waktu amat panjang.
Cara kedua, redenominasi, yakni ”memaksa” penghapusan beberapa nol (sesuai kebutuhan dan kelayakan) sehingga kurs rupiah lebih ramping. Melakukan ini tentu tak bisa sembarangan. Namun, jelas jauh lebih ringan daripada harus memupuk cadangan devisa hingga 1 triliun dollar AS.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.
Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah (4,3 persen). Menurut saya, kedua kondisi ini tak bertolak belakang.
Bagi negara yang inflasinya tinggi, masalah yang dihadapi adalah lemahnya mata uang, misalnya Turki mengalami 1 dollar AS ekuivalen 1,6 juta lira (1994), sedangkan bagi Indonesia, meski inflasi rendah, kurs rupiah lemah dengan beban angka nol banyak. Di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang lebih lemah daripada rupiah, yakni 1 dollar AS ekuivalen 20.000 dong.
Jadi, negara yang inflasinya besar ataupun kecil bisa saja melakukan redenominasi, sejauh punya kepentingan sama: ingin menyederhanakan tampilan angka nol pada mata uangnya.
Untung Rugi Redenominasi
Redenominasi dalam bentuk pengurangan atau penyederhanaan angka nol,
pertama kali dilakukan tahun 1923. Ketika Jerman memangkas 12 digit
angka nol pada mata uangnya sehingga 1.000.000.000.000 mark = 1
rentemark. Dan kejadian tersebut menjadirekor redenominasi terbesar
sepanjang sejarah. Sejak saat itu, tercatat ada 50 negara yang melakukan
redenominasi. Turki termasuk salah satu negara yang mencatat kisah
sukses redenominasi dalam waktu relatif singkat yakni sepuluh tahun yang
kini banyak dijadikan acuan bagi negara-negara lain termasuk Indonesia.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan redenominasi tidak selalu membuahkan hasil yang manis. Ada pula negara yang gagal total dalam pelaksanaan redenominasi seperti, Rusia pada tahun 1998. Negara adikuasa yang memangkas tiga angka nol sehingga 1.000 ruble = 1 new ruble. Beberapa pengamat menilai kegagalan Rusia sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah dan bank sentral dalam mengatasi persoalan yang timbul akibat redenominasi.
Wacana redenominasi rupiah yang digulirkan Kementerian Keuangan (KEMENKEU) dan Bank Indonesia di tanah air mulai terasa hingga pelosok daerah. KEMENKEU dan Bank Indonesia kini mulai giat melakukan persiapan berupa konsultasi publik maupun sosialisasi yang dimulai pada Januari 2013 lalu dan selesai pada 2019. Artinya proses pelaksanaan redenominasi diperkirakan selama enam tahun, lebih singkat daripada Turki (sepuluh tahun) dan lebih lama daripada Rumania (tiga tahun), dua negara yang sukses menerapkan redenominasi. Berdasarkan skema yang disusun KEMENKEU dan BI angka pecahan rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol. Misalnya uang senilai Rp 100.000 akan diredenominasi menjadi Rp 100, dan seterusnya. Meski nominalnya berbeda, nilai uangnya tetap sama dan tidak ada pemotongan atau pengurangan nilai tukar uang (sanering).
Redenominasi akan sangat bermanfaat dalam pencatatan akuntansi atau keuangan, dalam dunia bisnis ataupun penyusunan anggaran negara, nilai nominalnya sudah mencapai triliunan. Artinya terdapat lebih dari dua belas digit angka dan hal tersebut tentu juga akan berdampak pada ketidakmampuan sistem informasi teknologi perbankan untuk menangani perhitungannya karena terlalu banyak angka nol.
Tiga bulan lalu, Darmin Nasution yang kini merupakan Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) menyampaikan, proses redenominasi sangat bermanfaat dalam perhitungan akuntansi atau pencatatan keuangan. "Dengan redenominasi, pencatatan keuangan akan lebih sederhana karena tiga angka nol dihilangkan dan redenominasi sudah sangat mendesak karena jika terus tertunda-tunda masalahnya dapat lebih rumit, dan sistem informasi teknologi perbankan diperkirakan tidak mampu lagi menangani perhitungannya," kata Darmin. Ekonom Australia sekaligus Guru Besar Ekonomi Australian National University (ANU), yang dilansir dalam Jaringnwes.com juga memberikan dukungan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan redenominasi atau penyederhanaan rupiah. Bahkan beliau menyarankan penghilangan empat angka nol sekaligus. "Seharusnya mereka (Pemerintah Indonesia, Red) menghilangkan empat nol sehingga satu rupiah hampir sama dengan satu dolar AS," ujarnya.
Redenominasi juga sebagai strategi untuk mendongkrak gengsi dan menaikkan harkat martabat mata uang rupiah di dunia Internasional. Sebagaimana kita ketahui saat ini rupiah merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar terendah ke dua di dunia terhadap dolar AS (USD). Bahkan dikawasan ASEAN, rupiah yang nilai tukarnya dikisaran Rp 9.731 per USD merupakan terendah kedua setelah Vietnam dikisaran 20.800 dong Vietnam per USD. Redenominasi rupiah juga untuk mendukung perekonomian nasional dengan keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015.
Disamping berbagai dampak positif atas kebijakan redenominasi, ada juga dampak negatif yang perlu di antisipasi yaitu, lonjakan inflasi. Hal ini penting, bagaimana peran dan fungsi otoritas moneter yakni BI dapat mengendalikan laju inflasi dan tetap menjaga kestabilan nilai tukar rupiah sesuai amanat undang-undang. Sebab, jika peningkatan inflasi terjadi maka dapat mengancam perekonomian nasional. Saya memandang bahwa proses redenominasi sudah waktunya dilakukan mengingat kondisi ekonomi Indonesia terbilang cukup baik, sasaran inflasi tahun ini 4,5 persen, perekonomian nasional tetap mengalami pertumbuhan 6,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dolar AS.
Tentu kondisi tersebut bukan suatu jaminan akan keberhasilan kebijakan redenominasi, oleh sebab itu perlu adanya dukungan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga proses redenominasi dapat berjalan sukses. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya mengenai redenominasi rupiah agar berjalan efektif. Pertama, Pemerintah dan Bank Indonesia harus melakukan konsultasi publik dan sosialisasi seluas-luasnya sehingga masyarakat dapat memahami secara baik mengenai redenominasi, sehingga tidak menimbulkan kepanikan yang justru membuat kondisi semakin buruk.
Kedua, Pemerintah dan Bank Indonesia harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap stabilitas harga di masyarakat, mampu meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi tidak akan mendorong inflasi. Ketiga, Pemerintah dan Bank Indonesia harus berkoordinasi aktif dengan para pemangku kepentingan (steakholder), baik dari dunia usaha, akademisi, pengamat ekonomi, hingga masyarakat umum sehingga konsep dan formula redenominasi semakin komprehensif. Keempat, Pemerintah dan Bank Indonesia harus benar-benar komitmen menjalankan fungsi strategisnya, dan memiliki integritas untuk mengendalikan variabel ekonomi makro sehingga proses redenominasi berjalan lancar. Kelima, Pemerintah dan Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan letak geografis Indonesia, jumlah penduduk, luas dan persebaran wilayahnya karena belum ada negara yang serupa dengan Indonesia yang sudah berhasil melakukan redenominasi sehingga tidak mudah mengadopsinya begitu saja.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan redenominasi tidak selalu membuahkan hasil yang manis. Ada pula negara yang gagal total dalam pelaksanaan redenominasi seperti, Rusia pada tahun 1998. Negara adikuasa yang memangkas tiga angka nol sehingga 1.000 ruble = 1 new ruble. Beberapa pengamat menilai kegagalan Rusia sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah dan bank sentral dalam mengatasi persoalan yang timbul akibat redenominasi.
Wacana redenominasi rupiah yang digulirkan Kementerian Keuangan (KEMENKEU) dan Bank Indonesia di tanah air mulai terasa hingga pelosok daerah. KEMENKEU dan Bank Indonesia kini mulai giat melakukan persiapan berupa konsultasi publik maupun sosialisasi yang dimulai pada Januari 2013 lalu dan selesai pada 2019. Artinya proses pelaksanaan redenominasi diperkirakan selama enam tahun, lebih singkat daripada Turki (sepuluh tahun) dan lebih lama daripada Rumania (tiga tahun), dua negara yang sukses menerapkan redenominasi. Berdasarkan skema yang disusun KEMENKEU dan BI angka pecahan rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol. Misalnya uang senilai Rp 100.000 akan diredenominasi menjadi Rp 100, dan seterusnya. Meski nominalnya berbeda, nilai uangnya tetap sama dan tidak ada pemotongan atau pengurangan nilai tukar uang (sanering).
Redenominasi akan sangat bermanfaat dalam pencatatan akuntansi atau keuangan, dalam dunia bisnis ataupun penyusunan anggaran negara, nilai nominalnya sudah mencapai triliunan. Artinya terdapat lebih dari dua belas digit angka dan hal tersebut tentu juga akan berdampak pada ketidakmampuan sistem informasi teknologi perbankan untuk menangani perhitungannya karena terlalu banyak angka nol.
Tiga bulan lalu, Darmin Nasution yang kini merupakan Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) menyampaikan, proses redenominasi sangat bermanfaat dalam perhitungan akuntansi atau pencatatan keuangan. "Dengan redenominasi, pencatatan keuangan akan lebih sederhana karena tiga angka nol dihilangkan dan redenominasi sudah sangat mendesak karena jika terus tertunda-tunda masalahnya dapat lebih rumit, dan sistem informasi teknologi perbankan diperkirakan tidak mampu lagi menangani perhitungannya," kata Darmin. Ekonom Australia sekaligus Guru Besar Ekonomi Australian National University (ANU), yang dilansir dalam Jaringnwes.com juga memberikan dukungan terhadap Pemerintah Indonesia untuk melakukan redenominasi atau penyederhanaan rupiah. Bahkan beliau menyarankan penghilangan empat angka nol sekaligus. "Seharusnya mereka (Pemerintah Indonesia, Red) menghilangkan empat nol sehingga satu rupiah hampir sama dengan satu dolar AS," ujarnya.
Redenominasi juga sebagai strategi untuk mendongkrak gengsi dan menaikkan harkat martabat mata uang rupiah di dunia Internasional. Sebagaimana kita ketahui saat ini rupiah merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar terendah ke dua di dunia terhadap dolar AS (USD). Bahkan dikawasan ASEAN, rupiah yang nilai tukarnya dikisaran Rp 9.731 per USD merupakan terendah kedua setelah Vietnam dikisaran 20.800 dong Vietnam per USD. Redenominasi rupiah juga untuk mendukung perekonomian nasional dengan keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015.
Disamping berbagai dampak positif atas kebijakan redenominasi, ada juga dampak negatif yang perlu di antisipasi yaitu, lonjakan inflasi. Hal ini penting, bagaimana peran dan fungsi otoritas moneter yakni BI dapat mengendalikan laju inflasi dan tetap menjaga kestabilan nilai tukar rupiah sesuai amanat undang-undang. Sebab, jika peningkatan inflasi terjadi maka dapat mengancam perekonomian nasional. Saya memandang bahwa proses redenominasi sudah waktunya dilakukan mengingat kondisi ekonomi Indonesia terbilang cukup baik, sasaran inflasi tahun ini 4,5 persen, perekonomian nasional tetap mengalami pertumbuhan 6,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dolar AS.
Tentu kondisi tersebut bukan suatu jaminan akan keberhasilan kebijakan redenominasi, oleh sebab itu perlu adanya dukungan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga proses redenominasi dapat berjalan sukses. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya mengenai redenominasi rupiah agar berjalan efektif. Pertama, Pemerintah dan Bank Indonesia harus melakukan konsultasi publik dan sosialisasi seluas-luasnya sehingga masyarakat dapat memahami secara baik mengenai redenominasi, sehingga tidak menimbulkan kepanikan yang justru membuat kondisi semakin buruk.
Kedua, Pemerintah dan Bank Indonesia harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap stabilitas harga di masyarakat, mampu meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi tidak akan mendorong inflasi. Ketiga, Pemerintah dan Bank Indonesia harus berkoordinasi aktif dengan para pemangku kepentingan (steakholder), baik dari dunia usaha, akademisi, pengamat ekonomi, hingga masyarakat umum sehingga konsep dan formula redenominasi semakin komprehensif. Keempat, Pemerintah dan Bank Indonesia harus benar-benar komitmen menjalankan fungsi strategisnya, dan memiliki integritas untuk mengendalikan variabel ekonomi makro sehingga proses redenominasi berjalan lancar. Kelima, Pemerintah dan Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan letak geografis Indonesia, jumlah penduduk, luas dan persebaran wilayahnya karena belum ada negara yang serupa dengan Indonesia yang sudah berhasil melakukan redenominasi sehingga tidak mudah mengadopsinya begitu saja.
No comments:
Post a Comment