Mobil Tucuxi menjadi harapan baru bagi Indonesia di bidang industri otomotif. Perancangnya, Danet Suryataman, hanya butuh lima bulan untuk mewujudkan impiannya membuat mobil sporty sekelas Ferrari itu.
Senyum cerah mengembang di bibir Danet Suryataman saat ditemui Jawa
Pos di food court sebuah mal di Surabaya (30/12). Bersama sang istri,
Ninien Wahyu Lestari, dia tampak segar meski tengah malam sebelumnya
baru tiba di kota kelahirannya itu setelah berkegiatan di Balikpapan,
Kalimantan Timur.
Gaya bicaranya yang blak-blakan khas Surabaya masih belum hilang,
meski Danet cukup lama tinggal di Amerika Serikat. Saat disodori daftar
menu makanan, dia langsung bertanya kepada sang pramusaji. “Di sini ada
rujak cingur nggak?” ujarnya.
Danet sedikit kecewa saat tahu salah satu makanan favoritnya tersebut
tidak ada dalam daftar menu. Akhirnya, dia memesan rujak manis sebagai
pengganti. Tidak lupa, dia memesan segelas jus kedondong kesenangannya.
“Saya masih sering kangen makan rujak cingur. Makanya, mumpung pas
pulang kampung, saya sempatkan cari rujak cingur,” ujarnya lantas
tersenyum.
Danet adalah sosok profesional yang belakangan menjadi pembicaraan
menyusul karya spektakulernya: mobil Tucuxi. Dia menjadi salah satu
bagian dari proyek mobil listrik “Putra Petir” yang dirintis Menteri
BUMN Dahlan Iskan. Mobil yang dilepas dengan harga Rp 1,5 miliar itu
menjadi tonggak dimulainya era industri mobil listrik berteknologi
tinggi karya anak bangsa.
Danet dibesarkan di keluarga anggota TNI-AL di Karangpilang,
Surabaya. Setamat SMAN 2 Surabaya, dia melanjutkan kuliah di Teknik
Sipil ITS (1983″1988). Dia menjadi salah seorang lulusan terbaik kala
itu, sehingga mendapat beasiswa untuk menempuh jenjang master di
Strathclyde University, Glasgow, Skotlandia.
Dia juga menempuh S-2 di AS. “Di dua negara itu, saya menempuh studi
teknik kelautan,” terangnya. Sebab, pilihan pekerjaan para alumnus
teknik saat itu kebanyakan berkutat pada kendaraan darat atau laut.
Setamat S-2, Danet melanjutkan kuliah S-3 di sebuah universitas di
Michigan, AS. Di negara adidaya tersebut, dia juga mulai merintis karir
sebagai profesional di bidang otomotif. Selama 15 tahun, dia pun menjadi
bagian dari tim yang melakukan uji verifikasi terhadap kendaraan yang
hendak diluncurkan di AS.
Amerika memang menerapkan standar yang cukup ketat soal keselamatan
dan kenyamanan kendaraan.
Mereka mengacu pada National Highway Traffic
Safety Administration (NHTSA) dan Euro-NCAP.
“Bertahun-tahun saya
mendapat tugas menguji bagian rem beserta potensi kekuatan mobil saat
terjadi kecelakaan,” lanjut ayah Nadia Danienta itu.
Danet pun langsung antusias ketika diajak bicara mengenai mobil
Tucuxi, karyanya. “Mobil ini, kalau nanti benar-benar diproduksi masal,
satu-satunya pesaing hanya Amerika,” tegasnya.
“Tidak ada negara selain Indonesia dan Amerika yang menerapkan teknologi yang dimiliki mobil semacam Tucuxi,” tambahnya.
Karena itu, begitu mendapat tawaran dari Dahlan Iskan untuk
mengembangkan mobil rancangannya itu, Danet langsung menyatakan
kesanggupannya. Dia bahkan rela keluar dari pekerjaannya di AS.
Alasannya, dia ingin sungguh-sungguh menerapkan teknologi tinggi untuk
mobil listrik di Indonesia.
Hasil riset yang telah dia patenkan diboyong pulang kampung. Dia
kemudian ngebut, bekerja keras siang malam bersama timnya selama lebih
dari lima bulan, untuk melahirkan mobil sekelas mobil balap “Ferrari”
itu.
“Yang merancang desain interiornya, mulai warna, pemilihan jok, dan
lain-lain, dia,” terang Danet sembari menunjuk sang istri yang duduk di
sebelahnya. Ninien pun hanya bisa tersenyum.
Seluruh bagian mobil tersebut merupakan yang terbaik di kelasnya.
Karena itu, Danet berani memasang harga tinggi agar ada penghargaan
untuk karya anak bangsa.
“Untuk
eksklusivitas model, mobil ini dibatasi hanya 200 unit di Indonesia.
Setelah itu, stop produksi. Nanti bisa dikembangkan dengan model yang
lain,” ungkap Danet.
Layaknya supercar impor, Tucuxi mempunyai desain elegan dan sporty.
Beberapa panel canggih menghiasi dalam mobil. Selain panel daya baterai,
ada panel GPS sekaligus penghubung ke smartphone yang bisa langsung
diakses ketika mobil digunakan.
Danet dan tim bisa mengerjakan proyek mobil listrik itu hanya dalam
lima bulan. Sebab, sebelum itu, dia memiliki konsep mobil serupa sejak
2008. Dalam pengerjaanya, Danet tidak menemui kendala berarti.
“Semula model mobil ini akan saya jual di AS. Namun, saat bertemu Pak
Dahlan Iskan, saya diminta membuat mobil listrik dengan model ini,”
ungkapnya.
Teknologi yang dipakai dalam supercar itu memang terbilang canggih.
Pengisian baterai dengan fast charging membutuhkan waktu 3″5 jam dari
baterai kosong, sedangkan slow charging bisa lebih dari 10 jam. Jarak
yang bisa ditempuh mobil warna merah menyala tersebut mencapai 450 km
atau lebih, bergantung cara mengendarainya.
Dengan besar daya baterai yang mencapai 61 kWh dan berjumlah lebih
dari 100 baterai, Tucuxi mampu dipacu hingga kecepatan lebih dari 200
km/jam.
Danet memiliki impian, Indonesia kelak mampu menjadi aktor di bidang
otomotif di negeri sendiri. Jargon mobil nasional yang beberapa tahun
lalu sempat menjadi ciri khas otomotif Indonesia diharapkan bisa
dibangkitkan lagi.
Wacana mobil nasional tersebut, kata Danet, bisa dihidupkan kembali
jika pemerintah peduli dan mau membuat sistem yang lebih terpadu.
“Kepedulian pemerintah bisa dalam bentuk subsidi dan tidak hanya sebagai
pencitraan. Prosesnya pun bertahap, tidak bisa instan,” tuturnya.
Karena itu, Danet sempat kecewa ketika bengkel di Jogja yang ditugasi
memproduksi Tucuxi membongkar total teknologi dalam mobil tersebut.
Akibatnya, hingga kini perbaikan mobil itu tidak kunjung beres karena
bengkel tersebut belum menguasai betul mobil itu.
Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Danet untuk
terus berkarya dengan mobil listriknya. Menurut dia, pengembangan mobil
sebaiknya dimulai dari mobil mewah. Sebab, harga yang mahal tentu
menjadi jaminan mobil itu berteknologi tinggi.
Jika pengembangan tersebut berhasil, masuk ke segmen menengah ke
bawah akan lebih mudah. Berbeda halnya jika mobil yang dikembangkan
berharga murah. Saat hendak merambah kelas atas, merek tersebut tidak
akan dipercaya karena identik dengan mobil murah.
Dia mencontohkan perusahaan mobil Chrysler, tempatnya bekerja di AS.
Karena Chrysler identik dengan mobil kelas menengah bawah, perusahaan
tersebut gagal saat mencoba masuk ke segmen atas.
Danet yakin, sumber daya manusia Indonesia tidak kalah oleh negara
lain. Sudah banyak contoh anak bangsa yang sukses di negeri orang.
“Mereka itu sebenarnya ingin kembali dan berkarya di Indonesia,”
tuturnya.
Hanya, karena tidak ada jaminan proteksi atas ilmu yang mereka bawa
dari luar negeri, para cendekiawan itu ragu untuk kembali ke tanah air.
Danet berharap pemerintah mau lebih memperhatikan aset bangsa yang
saat ini bertebaran di luar negeri. Jika pemerintah memberikan jaminan
perlindungan atas ilmu yang dibawa itu dan memberikan kesempatan yang
luas kepada para cendekiawan tersebut, dia menjamin para anak bangsa
akan siap kembali kapan pun dibutuhkan.
Danet belum tahu apakah dirinya akan kembali ke AS atau menetap di
tanah air. Dia masih melihat kondisi yang berkembang dalam beberapa saat
nanti.
“Jika memungkinkan, saya akan kembangkan teknologi ini di Surabaya,
Jogjakarta, dan Jakarta,” tegasnya. (bayu putra dilengkapi oleh Dwi
Agus,)
Sumber: Jawa Pos
wah mantap
ReplyDeleteObat Herbal Torch