Firdaus
Secara sederhana Globalisasi Ekonomi bisa diartikan sebagai merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintgrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.
Beberapa Keuntungan Globalisasi Ekonomi bagi Indonesia :
- Terbukanya peluang pasar (market) produksi dalam negri untuk bersaing ke pasar internasional secara kompetitif dan menambah keuntungan
- Dengan terbukanya pasar yang lebih luas, maka akan semakin terbukanya peluang swasta untuk berkembang lebih baik
- Terciptanya perdagangan komparatif serta efesiensi produksi ekonomi skala besar
- Menguntungkan konsumen dikarenakan banyaknya pilihan produk serta harga yang relatif murah
- Terbukanya peluang untuk penguatan kapasitas produksi barang dan jasa dalam negeri dengan tingginya mobilitas investasi
- Secara teori, akan terbuka peluang lebih besar bagi Indonesia memperoleh keuntungan dari ‘spesialisasi’ perdagangan intenasional. Teori ini menyatakan bahwa walaupun suatu Negara mampu memproduksi jenis barang yang sama dengan yang diproduksi Negara lain, tapi ada kalanya lebih baik jika Negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
- Adanya transfer teknologi
Beberapa kerugian Globalisasi Ekonomi :
- Serbuan produk asing yang bisa mematikan industri dalam negeri
- Dengan adanya serbuan produk asing dengan kualitas dan harga yang bersaing, akan mendorong terjadinya deindustrialisasi (penurunan industri). Pragmatisme pengusaha muncul dengan berubah profesi dari produsen menjadi importir-importir/pedagang-pedagan barang impor.
- Ketika Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton, dan lebih menjadi bangsa ‘penikmat’ (bangsa pengimpor sedangkan ekspor semakin menurun) tentu saja membuat banyaknya perusahaan-perusahaan gulung tikar, dan ini tentu saja menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyaknya PHK akan menimbulkan efek selanjutnya baik meningkatnya angka kriminalitas, instabilitas politik dan keamanan, dll
- Dehumanisme (Penurunan nilai-nilai/makna kemanusiaan) pada berbagai sektor kehidupan, dikarenakan tenaga kerja, uang, tanah dan sumber alam sebagai faktor produksi semata atau komoditas yang diperjual belikan.
- Di sisi lain, Industrialisasi sebagai bagian dari globalisasi ekonomi juga cenderung berdampak terhadap pengrusakan lingkungan
- 6Sektor keuangan khususnya keuangan moneter akan menjadi sangat tidak stabil, dikarenakan mobilitas modal yang sangat tinggi di pasar saham akan membuat nilai tukar, neraca pembayaran, dll akan sangat berfluktuatif dengan cepat.Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Tanggapan saya terhadap Globalisasi Ekonomi :
Mau tidak mau, suka atau pun tidak suka, cepat ataupun lambat, Indonesia pasti masuk ke dalam perdagangan bebas dunia/Globalisasi Ekonomi. Tapi keikutsertaan Indonesia ini haruslah tetap dilandasi dengan semangat ekonomi kerakyatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan arti kata, keikutsertaan dengan tetap harus memperhatikan aspek-aspek ekonomi kerakyatan, partisipasi aktif pemerintah dalam menciptakan kemakmuran masyarakat, kepastian jaminan tenaga kerja, distribusi kesejahteraan, serta jaminan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam bahasa sederhana, Sri Edi Swasono dalam makalahnya “Reformasi dalam Platform” pada Seminar Good Governance Ultah FE UI ke-60 mengatakan bahwa,’Kita tidak anti asing dengan globalisasinya. Investasi kita terima, tetapi tidak untuk mendominasi ekonomi nasional ataupun menggusur ekonomi rakyat”.
Mungkin pendapat saya ini dibilang sebagai pendapat ambigu, dikarenakan masih memberikan peluang besar bagi pemerintah untuk terlibat aktif di dalam beberapa aspek perekonomian. Sedangkan persaingan bebas itu sendiri mempunyai makna ‘pendewaan’ terhadap pasar dan berusaha menekan penetrasi/intervensi pemerintah terhadap pasar itu sendiri. Tapi menurut saya, untuk saat ini dan untuk beberapa waktu kedepan, dengan mengamati tingkat persaingan produk Indonesia yang masih kalah dengan produk Negara lain, Iklim birokrasi dan investasi serta stabilitas ekopoleksosbudhankam yang belum terlalu baik, infrasturktur yang belum memadai, ekonomi biaya tinggi, dan faktor lainnya, maka pilihan untuk memberikan ruang yang besar bagi pemerintah dalam melakukan penetrasi pasar dan proteksi terhadap beberapa produk dalam negeri (terutama produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti produk pertanian,dll) dengan tetap memberikan peluang masuknya globalisasi, ADALAH SOLUSI YANG TERBAIK.
Proses keikutsertaan dalam globalisasi ekonomi ini juga harus diikuti secara bersamaan dengan berbagai usaha perbaikan-perbaikan dalam negri, seperti perbaikan infrastruktur, dukungan aktif terhadap iklim yang baik untuk investasi dalam negri, penciptaan stabilitas ekonomi dan politik, keberpihakan yang nyata terhadap ekonomi sektor rill dan tidak terjebak dalam asumsi-asumsi makro, dan usaha lainnya.
Sebagai contoh adalah fenomena tumbuh dan berkembangnya perekonomian Cina, bukanlah tumbuh dengan sendirinya, tetapi telah dimulai terlebih dahulu dengan penyiapan infrastruktur perekonomian dalam negeri yang memadai serta berbagai bentuk kebijakan-kebijakan ekonominya yang mendorong terciptanya industrialisasi besar-besaran yang mengakibatkan meningkat drastisnya ekspor Cina ke berbagai Negara termasuk Indonesia. Salah satu kebijakan Cina adalah dengan memberikanSpecial Credit Facilities, yakni kredit special yang diberikan kepada Negara-negara yang mengimpor barang dari Cina.Hal ini juga bisa dilakukan karena devisa Cina yang sangat besar hingga mencapai US$ 3 Triliun.
Dan untuk kita ketahui, Amerika Serikat sebagai salah satu Negara yang begitu aktif terlibat dalam mengkampanyekan isu perdagangan bebas pun, ternyata masih tetap melakukan proteksi terhadap beberapa produk yang pertanian dan industri yang mereka hasilkan. Dan juga perdagangan bebas juga belum bisa disebut sebagai harga mati dalam pergaulan/perdagangan internasional, dikarenakan sampai saat inipun belum ada bukti yang terlihat secara fakta dan ilmiah yang memperlihatkan keberhasilan dari perdagangan bebas/globalisasi ekonomi.
Tentu saja, pilihan saya untuk berpendapat seperti itu bukanlah tanpa dasar. Kalau boleh berbicara fakta berikut saya utarakan beberapa fakta empiris/ilmiah dan pandangan tokoh-tokoh ekonomi kelas dunia tentang beberapa hal :
- Pengamatan World Economic Forum (WEF) menunjukkan masih adanya masalah birokrasi yang tidak efisien, kebijakan yang tidak konsisten dan korupsi yang menjadi faktor penghambat meningkatnya kemampuan Indonesia bersaing di pasar internasional. (Source, World Economic Forum, Global Competitiveness Report, October, 2004). WEF adalah organisasi independen yang mengelompokkan perusahaan dan memberikan platform untuk mengemukakan isu-isu global)
- Hampir di semua bukunya, Stiglitz membahas tentang keterpurukan dan berbagai persoalan serius ekonomi Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena efek dari globalisasi global. (baca lebih jauh ; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik : 2006, Stiglitz). Termasuk rekomendasinya untuk melakukan reformasi terhadap lembaga-lembaga ekonomi internasional; IMF, World Bank, dll, sebagai bagian dari lembaga penopang perdagangan bebas dunia. Bahkan untuk kasus Indonesia, beberapa kebijakan IMF terbukti gagal mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan Stiglitzs mentenggarai bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak jauh lebih cepat dari Negara-negara yang menolak kebijakan IMF
- Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, dengan selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaan saat ini harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25% (Harian Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
- Semakin banyak fakta yang mencuat bahwa globalisasi sebagai “kendaraan” perdagangan bebas tidak selamanya memberi manfaat positif bagi masyarakat dunia Runtuhnya pasar finansial AS yang berdampak pada pasar finansial global adalah salah satu bukti nyata “kegagalan” globalisasi. Karena itu, dalam setahun terakhir, banyak negara di dunia yang akhirnya mengoreksi terhadap perjanjian pasar bebas yang disepakati. Tujuannya, guna menemukan formulasi yang tepat dalam menghadapi perdagangan bebas itu sendiri (INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN INTERNASIONAL, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 2 September 2006, NINGRUM NATASYA SIRAIT)
Dan satu hal lagi yang perlu dilakukan dalam era perdagangan bebas adalah mendorong terciptanya nasionalisme dalam memakai hasil produksi dalam negri. Untuk bab ini memang membutuhkan karakter kepemimpinan yang kuat ditopang dengan kerjasama dari berbagai unsur, untuk mensukseskan program nasionalisasi ini. Terlalu melankolis memang, tapi menurut saya ini akan berdampak sangat besar dalam menciptakan ketahanan ekonomi Indonesia. Tapi, tentu dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kualitas dan harga yang tidak terlalu jauh berbeda (kalaupun tidak bisa menyamai harga dan kualitas produk luar negeri).
Kegalauan saya terhadap masalah nasionalisme ini terkait juga dengan data-data yang dilansir di sebuah media nasional belakangan ini, dimana meningkatnya pertumbuhan masyarakat ekonomi menengah di Indonesia, yang diperkirakan mencapai angka 56%, ternyata menimbulkan kecemasan yang luar biasa yang berdampak kurang baik terhadap masa depan Indonesia itu sendiri, yakni ketika gejala peningkatan ekonomi menengah tersebut juga menyebabkan meningkat drastisnya belanja masyarakat Indonesia di Luar Negri yang mencapai angka Rp 50-60 Triliun pada tahun 2011 kemarin. Wow, pelampiasan nafsu konsumsi yang menurut saya kurang tepat, dan dalam jangka panjang justru mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia itu sendiri
Yang jelas, Globalisasi bukanlah sebuah momok yang menakutkan yang harus ditakuti secara berlebihan. Segala bentuk manfaat positif dari globalisasi ekonomi tentu saja akan dapat diraih jika perbaikan-perbaikan dalam sektor perekonomian dalam negri terus dipacu, baik terkait kebijakan infrastruktur, regulasi, penegakan hukum, dll. Tetapi memuja sistim perekonomian bebas secara berlebihan dan menganggap sebagai sistim yang terbaik, juga merupakan sebuah kesalahan yang fatal, karna fakta empiris pun belum cukup untuk menggambarkan kesuksesan ‘ekonomi dunia tanpa batas’ ini.
Referensi :
Boediono. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2009
Fahri Hamzah. Negara,Pasar, dan Rakyat. Penerbit FAHAM Indonesia, 2011
Zain Maulana, Jerat Globalisasi Neoliberal.Ancaman Bagi Negara Dunia Ketiga. Penerbit RIAK Yogyakarta, 2010
INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN INTERNASIONAL, Ningrum Natasya Sirati. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 2 September 2006
Tumbuhnya Kelas Menengah yang Optimis. Artikel Litbang Harian Kompas, 23 Desember 2011
Ekonomi 2012. Optimisme dalam Tekanan dan Ketidakpastian. Opini Hendri Saparini pada Media Indonesia, 2 Januari 2012
World Economic Forum, Global Competitiveness Report, October, 2004.
No comments:
Post a Comment