Sunday, January 6, 2013

Profil Danet Suryataman


Mobil Tucuxi menjadi harapan baru bagi Indonesia di bidang industri otomotif. Perancangnya, Danet Suryataman, hanya butuh lima bulan untuk mewujudkan impiannya membuat mobil sporty sekelas Ferrari itu.
 
Senyum cerah mengembang di bibir Danet Suryataman saat ditemui Jawa Pos di food court sebuah mal di Surabaya (30/12). Bersama sang istri, Ninien Wahyu Lestari, dia tampak segar meski tengah malam sebelumnya baru tiba di kota kelahirannya itu setelah berkegiatan di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Gaya bicaranya yang blak-blakan khas Surabaya masih belum hilang, meski Danet cukup lama tinggal di Amerika Serikat. Saat disodori daftar menu makanan, dia langsung bertanya kepada sang pramusaji. “Di sini ada rujak cingur nggak?” ujarnya.

Danet sedikit kecewa saat tahu salah satu makanan favoritnya tersebut tidak ada dalam daftar menu. Akhirnya, dia memesan rujak manis sebagai pengganti. Tidak lupa, dia memesan segelas jus kedondong kesenangannya.

“Saya masih sering kangen makan rujak cingur. Makanya, mumpung pas pulang kampung, saya sempatkan cari rujak cingur,” ujarnya lantas tersenyum.

Danet adalah sosok profesional yang belakangan menjadi pembicaraan menyusul karya spektakulernya: mobil Tucuxi. Dia menjadi salah satu bagian dari proyek mobil listrik “Putra Petir” yang dirintis Menteri BUMN Dahlan Iskan. Mobil yang dilepas dengan harga Rp 1,5 miliar itu menjadi tonggak dimulainya era industri mobil listrik berteknologi tinggi karya anak bangsa.

Danet dibesarkan di keluarga anggota TNI-AL di Karangpilang, Surabaya. Setamat SMAN 2 Surabaya, dia melanjutkan kuliah di Teknik Sipil ITS (1983″1988). Dia menjadi salah seorang lulusan terbaik kala itu, sehingga mendapat beasiswa untuk menempuh jenjang master di Strathclyde University, Glasgow, Skotlandia.

Dia juga menempuh S-2 di AS. “Di dua negara itu, saya menempuh studi teknik kelautan,” terangnya. Sebab, pilihan pekerjaan para alumnus teknik saat itu kebanyakan berkutat pada kendaraan darat atau laut.

Setamat S-2, Danet melanjutkan kuliah S-3 di sebuah universitas di Michigan, AS. Di negara adidaya tersebut, dia juga mulai merintis karir sebagai profesional di bidang otomotif. Selama 15 tahun, dia pun menjadi bagian dari tim yang melakukan uji verifikasi terhadap kendaraan yang hendak diluncurkan di AS.

Amerika memang menerapkan standar yang cukup ketat soal keselamatan dan kenyamanan kendaraan. 
Mereka mengacu pada National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) dan Euro-NCAP. 

“Bertahun-tahun saya mendapat tugas menguji bagian rem beserta potensi kekuatan mobil saat terjadi kecelakaan,” lanjut ayah Nadia Danienta itu.

Danet pun langsung antusias ketika diajak bicara mengenai mobil Tucuxi, karyanya. “Mobil ini, kalau nanti benar-benar diproduksi masal, satu-satunya pesaing hanya Amerika,” tegasnya.

“Tidak ada negara selain Indonesia dan Amerika yang menerapkan teknologi yang dimiliki mobil semacam Tucuxi,” tambahnya.

Karena itu, begitu mendapat tawaran dari Dahlan Iskan untuk mengembangkan mobil rancangannya itu, Danet langsung menyatakan kesanggupannya. Dia bahkan rela keluar dari pekerjaannya di AS. Alasannya, dia ingin sungguh-sungguh menerapkan teknologi tinggi untuk mobil listrik di Indonesia.

Hasil riset yang telah dia patenkan diboyong pulang kampung. Dia kemudian ngebut, bekerja keras siang malam bersama timnya selama lebih dari lima bulan, untuk melahirkan mobil sekelas mobil balap “Ferrari” itu.

“Yang merancang desain interiornya, mulai warna, pemilihan jok, dan lain-lain, dia,” terang Danet sembari menunjuk sang istri yang duduk di sebelahnya. Ninien pun hanya bisa tersenyum.

Seluruh bagian mobil tersebut merupakan yang terbaik di kelasnya. Karena itu, Danet berani memasang harga tinggi agar ada penghargaan untuk karya anak bangsa.

“Untuk eksklusivitas model, mobil ini dibatasi hanya 200 unit di Indonesia. Setelah itu, stop produksi. Nanti bisa dikembangkan dengan model yang lain,” ungkap Danet.

Layaknya supercar impor, Tucuxi mempunyai desain elegan dan sporty. Beberapa panel canggih menghiasi dalam mobil. Selain panel daya baterai, ada panel GPS sekaligus penghubung ke smartphone yang bisa langsung diakses ketika mobil digunakan.

Danet dan tim bisa mengerjakan proyek mobil listrik itu hanya dalam lima bulan. Sebab, sebelum itu, dia memiliki konsep mobil serupa sejak 2008. Dalam pengerjaanya, Danet tidak menemui kendala berarti.

“Semula model mobil ini akan saya jual di AS. Namun, saat bertemu Pak Dahlan Iskan, saya diminta membuat mobil listrik dengan model ini,” ungkapnya.

Teknologi yang dipakai dalam supercar itu memang terbilang canggih. Pengisian baterai dengan fast charging membutuhkan waktu 3″5 jam dari baterai kosong, sedangkan slow charging bisa lebih dari 10 jam. Jarak yang bisa ditempuh mobil warna merah menyala tersebut mencapai 450 km atau lebih, bergantung cara mengendarainya.

Dengan besar daya baterai yang mencapai 61 kWh dan berjumlah lebih dari 100 baterai, Tucuxi mampu dipacu hingga kecepatan lebih dari 200 km/jam.

Danet memiliki impian, Indonesia kelak mampu menjadi aktor di bidang otomotif di negeri sendiri. Jargon mobil nasional yang beberapa tahun lalu sempat menjadi ciri khas otomotif Indonesia diharapkan bisa dibangkitkan lagi.

Wacana mobil nasional tersebut, kata Danet, bisa dihidupkan kembali jika pemerintah peduli dan mau membuat sistem yang lebih terpadu. “Kepedulian pemerintah bisa dalam bentuk subsidi dan tidak hanya sebagai pencitraan. Prosesnya pun bertahap, tidak bisa instan,” tuturnya.

Karena itu, Danet sempat kecewa ketika bengkel di Jogja yang ditugasi memproduksi Tucuxi membongkar total teknologi dalam mobil tersebut. Akibatnya, hingga kini perbaikan mobil itu tidak kunjung beres karena bengkel tersebut belum menguasai betul mobil itu.

Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Danet untuk terus berkarya dengan mobil listriknya. Menurut dia, pengembangan mobil sebaiknya dimulai dari mobil mewah. Sebab, harga yang mahal tentu menjadi jaminan mobil itu berteknologi tinggi.

Jika pengembangan tersebut berhasil, masuk ke segmen menengah ke bawah akan lebih mudah. Berbeda halnya jika mobil yang dikembangkan berharga murah. Saat hendak merambah kelas atas, merek tersebut tidak akan dipercaya karena identik dengan mobil murah.

Dia mencontohkan perusahaan mobil Chrysler, tempatnya bekerja di AS. Karena Chrysler identik dengan mobil kelas menengah bawah, perusahaan tersebut gagal saat mencoba masuk ke segmen atas.

Danet yakin, sumber daya manusia Indonesia tidak kalah oleh negara lain. Sudah banyak contoh anak bangsa yang sukses di negeri orang. “Mereka itu sebenarnya ingin kembali dan berkarya di Indonesia,” tuturnya.

Hanya, karena tidak ada jaminan proteksi atas ilmu yang mereka bawa dari luar negeri, para cendekiawan itu ragu untuk kembali ke tanah air.

Danet berharap pemerintah mau lebih memperhatikan aset bangsa yang saat ini bertebaran di luar negeri. Jika pemerintah memberikan jaminan perlindungan atas ilmu yang dibawa itu dan memberikan kesempatan yang luas kepada para cendekiawan tersebut, dia menjamin para anak bangsa akan siap kembali kapan pun dibutuhkan.

Danet belum tahu apakah dirinya akan kembali ke AS atau menetap di tanah air. Dia masih melihat kondisi yang berkembang dalam beberapa saat nanti.

“Jika memungkinkan, saya akan kembangkan teknologi ini di Surabaya, Jogjakarta, dan Jakarta,” tegasnya. (bayu putra dilengkapi oleh Dwi Agus,)
 
Sumber: Jawa Pos