Friday, August 30, 2013

Wanita Nelayan Itu Mulia


Solekhah namanya, perempuan nelayan kelahiran Demak tahun 1975. Bapaknya adalah seorang nelayan dari Dukuh Tambak Poro, Desa Purworejo. Sebagai anak yang Lahir dan besar di kampung nelayan, tidak heran jika Solekhah tidak bisa berjauhan dari laut. Baginya, laut adalah pemandangan yang selalu ingin dia lihat dan harapan yang selalu dia rindukan.
Ilustrasi
Terlahir sebagai anak sulung dari 9 bersaudara membuat Solekhah harus mau berbagi dengan adik-adiknya, bukan hanya berbagi makanan tapi membagi dalam hal pendidikan. Solekhah mengalah untuk tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dia hanya lulus SD dan tidak melanjutkan ke SMP. Pada ssat usia 20 tahun, Solekhah menikah dengan Musahadi yang berprofesi sebagai nelayan.

Sepintas lalu, penampilannya sangat sederhana. Tubuhnya tidak tinggi, kulitnya hitam legam. Tapi jika kita melihat sorot matanya, matanya seperti berkaca-kaca dan berusaha menghindar tatapan langsung dari mata lawan bicaranya.

“Saya malu karena saya tidak pintar” bisik Solekhah pelan. Padahal, ada sisi lain yang menganggumkan dari sosoknya yang sederhana. Dulu Solekhah hanya seorang ibu rumah tangga, namun sudah 2 tahun terakhir Solekhah pergi melaut atau berganti profesi menjadi nelayan. Laut baginya semakin dekat dan tidak berjarak.

“Saya bangga jadi nelayan” ujar Solekhah dengan semangat. Awalnya, Solekhah melaut untuk menutupi biaya hidup keseharian dan biaya sekolah 4 orang anaknya. Bagi Solekhah, biaya pendidikan saat ini semakin mahal, maka Solekhah memberanikan diri untuk pergi bersama suaminya melaut. Musahadi, sang suami sudah tidak lagi mampu melihat jarak jauh. Sehingga butuh istrinya untuk mengatur kemudi.

Pukul 3.00 pagi Solekhah dan Musahadi pergi melaut, dengan hanya membawa alat sederhana seperti jaring rajungan dan bekal secukupnya mengarungi gelombang laut. Perahu bertenaga 7 PK dengan panjang 4,5 meter dan lebar 1,8 meter menemani keseharian mereka melaut. Pukul 14.00 mereka baru kembali ke darat dan menjual hasil tangkapannya. Pendapatan tidak menentu. Pernah suatu hari mereka hanya mendapat Rp. 25.000, dari uang itu Solekhah harus membeli bahan bakar untuk keesokan harinya sebesar Rp. 15.000, jadi pendapatan bersih hanya Rp. 10.000 waktu itu. Tapi hal itu tidak pernah menyurutkan semangat Solekhah.

“Hidup itu ada yang ngatur, dikasih sedikit Alhamdulillah, banyak ya Alhamdulillah” tegas Solekhah. Harapan Solekhah pun sederhana, pemerintah bisa terbuka hatinya untuk melihat probelamatika kompleks yang dihadapi oleh nelayan seperti kenaikan harga BBM, mahalnya biaya pendidikan bagi anak nelayan, tidak adanya asuransi, dan bantuan modal usaha dengan bunga rendah masih sulit didapat.

Bagi warga kampungnya, keputusan Solekhah melaut masih dianggap hal yang tabu. Tidak sedikit orang yang memandang Solekhah dengan tatapan aneh, karena dari satu desa, hanya ada dua orang perempuan yang ikut suaminya melaut yaitu Solekhah dan Nayiroh. 
 


Di tengah anggapan yang mengkerdilkan peran perempuan nelayan, alasan mendasar Solekhah melaut adalah sederhana; dia tidak mau jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau Pembantu Rumah Tangga (PRT) di luar negeri dan berpisah dari keluarganya. Tuntutan ekonomi yang sulit adalah hal yang harus dihadapi oleh Solekhah, tapi hal itu bukan alasan yang mendasar bagi seseorang untuk mengorbankan keluarganya. Dia berprinsif “Mangan Ora Mangan sing Penting Kumpul”. Dan tatapan mata Solekhah, bukan hanya terpandang laut biru, tapi langit yang masih biru dan menaunginya. Terbit di Kabar Bahari milik Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) 13769709441340972358

No comments:

Post a Comment